Saturday 5 July 2014

Sssht! It's a secret :)



4 Juli 2014
Mungkin sudah hampir atau bahkan lebih dari 2 minggu berlalu. Kejadian itu, yang jujur saja, membuatku kurang bisa fokus dalam mengerjakan sesuatu, terutama untuk persiapan ujian akhir. Ini terdengar bodoh memang. Tapi biarlah. Aku yakin diluar sana banyak orang-orang dengan pengalaman yang sama sepertiku.
Sebuah pesan singkat dari rekanku di kampus. Aku bingung harus bereaksi seperti apa. Senang, tapi juga ada sedikit—yah, sedikit sekali—‘kecemburuan’. Hahaha entah ada angin apa aku menulis kata bertanda kutip itu. Dan kutanyakan lebih detail lagi kejadian yang rekanku itu alami—yang tentunya berkaitan dengan’mu’. Aku hanya menahan tawa, antara senang karena teman SMAku bisa akrab juga dengan teman kuliahku, malu karena rekan kuliahku itu menggodaku, dan ‘cemburu’ karena seumur hidupku—dan seingatku—hal semacam ini baru terjadi.
Entah itu keesokan harinya atau kapan, aku mencoba menanyakan hal itu padamu. Dan yah… yang kalian ceritakan sama. Disini aku sedikit lega. Tidak ada kebohongan. Hingga keesokan harinya, saat rapat kepanitiaan berlangsung, rekan kuliahku itu menanyakan sesuatu. Aku lupa apa. Tapi yang jelas itu berkaitan dengan aku dan kamu. Beberapa kali aku tersenyum malu. Pembicaraan kami tertulis dalam sebuah kertas lusuh yang terlipat seadanya. Kami tak mau membuat kegaduhan di tengah rapat. Kertas lusuh berisi hal yang menurutku ‘keramat’ itu sempat berhenti di tangan rekan kuliahku yang lain dan mereka membacanya. Ini. Ini yang membuatku semakin tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Kalau aku diam saja, aku tidak bisa menahan senyum. Tapi kalau aku salah tingkah, bisa jadi mereka mengartikan itu sebagai suatu ‘pertanda’.
Perbincangan di tengah rapat itu masih berlangsung ketika rapat di skors sementara. Banyak yang kami bicarakan. Dan yang aku simpulkan adalah, perbincangan mereka tidak berhenti sampai disitu. Ada bagian yang tidak mereka ceritakan tentunya. Lagipula, aku tidak berhak tahu apa saja yang mereka bicarakan.
Ingatanku kembali ke satu minggu sebelum kejadian ini terjadi. Dimana ‘kita’ masih sering berkomunikasi satu sama lain, hampir setiap malam aku merefresh inbox facebookku melalui handphone dan tertawa sendiri. Seperti biasa perbincangan yang tidak jelas arahnya. Kalimat-kalimat yang tidak penting bertebaran dimana-mana. Mungkin untuk ‘kita’ saling mengejek sudah jadi hal biasa. Meskipun seringkali aku merasa sebal. Tapi disamping perbincangan yang tidak jelas itu, di sudut lain diantara kalimat yang tidak penting dan ejekan-ejekan ‘kita’, ada beberapa kata yang jujur, sulit aku lupakan. Yang membuatku tersenyum. Senyum dalam artian yang berbeda. Yang bisa mewakili kata-kata yang tidak bisa aku ucapkan terlebih dahulu sebelum kau mengucapkannya.
“Aku juga…”
Satu kata itu saja sebenarnya sudah bisa mewakili perasaanku. Tapi aku tidak bisa menyampaikan sesingkat itu. Karena dengan kalimat singkat dan tanpa basa-basi itu, itu sama saja artinya aku mengungkapkan semuanya. Dan pada akhirnya aku membalas perkataanmu dengan candaan.
Buatmu, kata-kata ‘rindu’ dan ‘sayang’ mungkin bukanlah hal tabu. Tapi tidak buatku. Aku jarang—dan bahkan hampir tidak pernah—mengucapkan ‘aku menyayangimu’ secara gamblang. Aku lebih suka mengungkapkannya melalui perbuatan dan perhatian yang lebih. Disamping itu, lingkungan sekitarku juga tidak mendidikku untuk dengan mudah mengungkapkan ‘sayang’. Sayang bukan dalam artian ‘aku menyayangi orangtua dan adikku’, atau ‘aku menyayangi sahabatku’. Tapi ‘sayang’ pada lawan jenis. Dan mungkin ini yang membuatku sedikit berharap lebih.
Aku rasa kata ‘sayang’ tidak seharusnya kau buat sebagai bahan candaan. Tapi aku tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang ini. Meskipun aku masih bisa mentolerir kata ‘rindu’. Aku juga merindukan teman-temanku yang lain karena kami sudah jarang sekali bertemu.
Yang membuatku sakit adalah disaat perbincangan kita berhenti, perbincangan antara kau dan rekan kuliahku itu masih berlanjut. Aku juga yakin tidak hanya di depan umum—social media—dimana orang-orang lain bisa melihat saja. Padahal kalian baru kenal kurang dari 1 bulan, sementara kita sudah saling kenal hampir 2 tahun. Kejadian ini tak lama setelah kata-kata ‘sayang’ dan ‘rindu’ itu. *Sudahlah… itu hanya bercanda -_- iya, mungkin terlalu mudah bagimu untuk bercanda dengan kata-kata ‘sayang’. Atau mungkin, ‘sayang’ seperti apa yang kau maksud?*
‘Mungkin masih ada banyak hal yang ingin dia ketahui tentang rekan kuliahmu itu?’
Kalau memang benar itu jawabannya, aku paham. Aku bisa mengerti. Tapi ada hal lain yang tidak bisa aku ceritakan disini satu-persatu, yang membuat pertanyaan diatas jadi membawa kesan ‘habis manis sepah dibuang’. Meskipun ini terlalu kasar. Aku juga tidak terlalu yakin kau setega itu.
Apa mungkin aku salah lagi? Salah mengartikan lagi? Yah, sepertinya begitu. Orang yang pertama kali aku ingat ketika hampir saja harga diriku hancur karena menjadi korban pelecehan, yang pertama kali aku sebut namanya dan kumintai tolong dan kuharap kehadirannya disaat itu juga untuk menolongku, yang aku harap menemaniku ketika aku menunggu diruang ICU rumah sakit sambil memandangi elektrokardiogram, menguatkanku ketika aku menangis melihat angka-angka dalam elektrokardiogram itu berwarna merah dan menunjukkan angka 0, yang aku tunggu pesannya setiap kali aku membuka inbox facebookku. Aku mungkin terlalu berlebihan. Tapi jujur, kamu satu-satunya teman laki-lakiku yang benar-benar perhatian dan mampu membuatku kagum. Kagum karena pengetahuan agamamu jauh melebihi aku, kagum karena kesetiaanmu terhadap perempuan yang kau sukai.
Mungkin kau tidak pernah hadir ketika aku ketakutan dan hampir berteriak meminta tolong, mungkin kau juga tidak hadir saat aku menangis menunggu masa-masa kritis ayahku, mungkin kau juga sering sekali membuatku sebal karena ejekanmu yang tidak ada habis-habisnya, tapi kau tidak pernah gagal membuatku tersenyum ketika kita mengobrol lewat pesan singkat, dan kau selalu berhasil membuatku salah tingkah sehingga tidak tahu harus berbuat apa ketika kita bertemu.
Satu hal, yang sampai detik ini masih kusimpan, yang jujur, jarang aku pikirkan karena seringkali ini menyakitkan dan tak seharusnya ada, tapi tidak pernah aku lupakan keberadaannya. Satu hal itu mungkin tidak akan aku ucapkan secara gamblang. Tapi akan aku simpan sendiri, sampai saatnya nanti kau benar-benar serius mengucapkannya. Meskipun itu belum tentu terjadi dan bahkan mustahil.
Dari sini aku bisa belajar, tidak seharusnya dengan mudah aku menanggapi candaanmu yang membuat pipiku memanas, tidak seharusnya aku menaruh harapan lebih karena mungkin sesungguhnya kesetiaanmu masih pada satu orang perempuan yang membuatmu terkagum-kagum itu, dan tidak seharusnya aku merasa tersakiti ketika melihatmu berbicara dengan yang lain terutama dengan teman baikku sendiri. Karena disini aku bukan siapa-siapamu. Hubungan diantara kita hanya sebatas teman SMA, tidak lebih. Aku tidak punya hak apapun atas dirimu, tak berhap sedikitpun mengatur hidupmu, dan aku tak berhak sakit hati jika nantinya kau mengungkapkan kemungkinan terburuk tentang ‘kita’.
Tapi tenang saja, aku masih bisa mengendalikan diriku. Aku masih punya kewajiban lain, masih punya banyak waktu untuk menemukan orang lain yang lebih tepat. Aku juga tahu, aku sadar diri, siapa aku dan siapa dirimu.
Sebagian kecil diriku ingin kau membaca ini, tapi sebagian lagi aku ingin kau tidak pernah tahu bahwa aku pernah menulis hal bodoh seperti ini di blog. Aku tidak mau kau tahu yang sebenarnya. Aku tidak mau tulisanku ini justru merusak status kita sebagai ‘teman’ dan membuat kita menjadi lebih canggung ketika bertemu. Biarkan saja semua apa adanya. Tapi, jika pada akhirnya nanti kau membaca ini, aku harap, jangan semudah itu kau mengungkapkan ‘sayang’ dan ‘rindu’ pada perempuan lain jika itu hanya kau buat untuk bahan candaan. Ini juga untuk kebaikanmu. Kau tidak mau kan di cap sebagai laki-laki yang yang suka merayu? Aku juga tidak mau kau seperti itu. Jadikan kata-kata itu sebagai kata-kata keramat yang hanya kau ucapkan pada satu orang saja. Yang kau yakin bahwa dia benar-benar untukmu dan bisa menjadi yang tepat bagimu. J

No comments:

Post a Comment