4
Juli 2014
Mungkin sudah hampir atau bahkan lebih dari 2 minggu
berlalu. Kejadian itu, yang jujur saja, membuatku kurang bisa fokus dalam
mengerjakan sesuatu, terutama untuk persiapan ujian akhir. Ini terdengar bodoh
memang. Tapi biarlah. Aku yakin diluar sana banyak orang-orang dengan
pengalaman yang sama sepertiku.
Sebuah pesan singkat dari rekanku di kampus. Aku
bingung harus bereaksi seperti apa. Senang, tapi juga ada sedikit—yah, sedikit
sekali—‘kecemburuan’. Hahaha entah ada angin apa aku menulis kata bertanda
kutip itu. Dan kutanyakan lebih detail lagi kejadian yang rekanku itu
alami—yang tentunya berkaitan dengan’mu’. Aku hanya menahan tawa, antara senang
karena teman SMAku bisa akrab juga dengan teman kuliahku, malu karena rekan kuliahku
itu menggodaku, dan ‘cemburu’ karena seumur hidupku—dan seingatku—hal semacam
ini baru terjadi.
Entah itu keesokan harinya atau kapan, aku mencoba
menanyakan hal itu padamu. Dan yah… yang kalian ceritakan sama. Disini aku
sedikit lega. Tidak ada kebohongan. Hingga keesokan harinya, saat rapat
kepanitiaan berlangsung, rekan kuliahku itu menanyakan sesuatu. Aku lupa apa.
Tapi yang jelas itu berkaitan dengan aku dan kamu. Beberapa kali aku tersenyum
malu. Pembicaraan kami tertulis dalam sebuah kertas lusuh yang terlipat
seadanya. Kami tak mau membuat kegaduhan di tengah rapat. Kertas lusuh berisi
hal yang menurutku ‘keramat’ itu sempat berhenti di tangan rekan kuliahku yang
lain dan mereka membacanya. Ini. Ini yang membuatku semakin tidak tahu harus bereaksi
seperti apa. Kalau aku diam saja, aku tidak bisa menahan senyum. Tapi kalau aku
salah tingkah, bisa jadi mereka mengartikan itu sebagai suatu ‘pertanda’.
Perbincangan di tengah rapat itu masih berlangsung
ketika rapat di skors sementara. Banyak yang kami bicarakan. Dan yang aku
simpulkan adalah, perbincangan mereka tidak berhenti sampai disitu. Ada bagian
yang tidak mereka ceritakan tentunya. Lagipula, aku tidak berhak tahu apa saja
yang mereka bicarakan.
Ingatanku kembali ke satu minggu sebelum kejadian ini
terjadi. Dimana ‘kita’ masih sering berkomunikasi satu sama lain, hampir setiap
malam aku merefresh inbox facebookku melalui handphone dan tertawa sendiri.
Seperti biasa perbincangan yang tidak jelas arahnya. Kalimat-kalimat yang tidak
penting bertebaran dimana-mana. Mungkin untuk ‘kita’ saling mengejek sudah jadi
hal biasa. Meskipun seringkali aku merasa sebal. Tapi disamping perbincangan
yang tidak jelas itu, di sudut lain diantara kalimat yang tidak penting dan
ejekan-ejekan ‘kita’, ada beberapa kata yang jujur, sulit aku lupakan. Yang
membuatku tersenyum. Senyum dalam artian yang berbeda. Yang bisa mewakili
kata-kata yang tidak bisa aku ucapkan terlebih dahulu sebelum kau
mengucapkannya.
“Aku juga…”
Satu kata itu saja sebenarnya sudah bisa mewakili
perasaanku. Tapi aku tidak bisa menyampaikan sesingkat itu. Karena dengan
kalimat singkat dan tanpa basa-basi itu, itu sama saja artinya aku
mengungkapkan semuanya. Dan pada akhirnya aku membalas perkataanmu dengan
candaan.
Buatmu, kata-kata ‘rindu’ dan ‘sayang’ mungkin bukanlah
hal tabu. Tapi tidak buatku. Aku jarang—dan bahkan hampir tidak
pernah—mengucapkan ‘aku menyayangimu’ secara gamblang. Aku lebih suka
mengungkapkannya melalui perbuatan dan perhatian yang lebih. Disamping itu,
lingkungan sekitarku juga tidak mendidikku untuk dengan mudah mengungkapkan
‘sayang’. Sayang bukan dalam artian ‘aku menyayangi orangtua dan adikku’, atau
‘aku menyayangi sahabatku’. Tapi ‘sayang’ pada lawan jenis. Dan mungkin ini
yang membuatku sedikit berharap lebih.
Aku rasa kata ‘sayang’ tidak seharusnya kau buat
sebagai bahan candaan. Tapi aku tidak tahu bagaimana pendapatmu tentang ini.
Meskipun aku masih bisa mentolerir kata ‘rindu’. Aku juga merindukan
teman-temanku yang lain karena kami sudah jarang sekali bertemu.
Yang membuatku sakit adalah disaat perbincangan kita
berhenti, perbincangan antara kau dan rekan kuliahku itu masih berlanjut. Aku
juga yakin tidak hanya di depan umum—social media—dimana orang-orang
lain bisa melihat saja. Padahal kalian baru kenal kurang dari 1 bulan,
sementara kita sudah saling kenal hampir 2 tahun. Kejadian ini tak lama setelah
kata-kata ‘sayang’ dan ‘rindu’ itu. *Sudahlah… itu hanya bercanda -_- iya,
mungkin terlalu mudah bagimu untuk bercanda dengan kata-kata ‘sayang’. Atau
mungkin, ‘sayang’ seperti apa yang kau maksud?*
‘Mungkin masih ada banyak hal yang ingin dia ketahui
tentang rekan kuliahmu itu?’
Kalau memang benar itu jawabannya, aku paham. Aku bisa
mengerti. Tapi ada hal lain yang tidak bisa aku ceritakan disini satu-persatu,
yang membuat pertanyaan diatas jadi membawa kesan ‘habis manis sepah dibuang’.
Meskipun ini terlalu kasar. Aku juga tidak terlalu yakin kau setega itu.
Apa mungkin aku salah lagi? Salah mengartikan lagi?
Yah, sepertinya begitu. Orang yang pertama kali aku ingat ketika hampir saja
harga diriku hancur karena menjadi korban pelecehan, yang pertama kali aku
sebut namanya dan kumintai tolong dan kuharap kehadirannya disaat itu juga
untuk menolongku, yang aku harap menemaniku ketika aku menunggu diruang ICU
rumah sakit sambil memandangi elektrokardiogram, menguatkanku ketika aku
menangis melihat angka-angka dalam elektrokardiogram itu berwarna merah dan
menunjukkan angka 0, yang aku tunggu pesannya setiap kali aku membuka inbox
facebookku. Aku mungkin terlalu berlebihan. Tapi jujur, kamu satu-satunya teman
laki-lakiku yang benar-benar perhatian dan mampu membuatku kagum. Kagum karena
pengetahuan agamamu jauh melebihi aku, kagum karena kesetiaanmu terhadap
perempuan yang kau sukai.
Mungkin kau tidak pernah hadir ketika aku ketakutan
dan hampir berteriak meminta tolong, mungkin kau juga tidak hadir saat aku
menangis menunggu masa-masa kritis ayahku, mungkin kau juga sering sekali
membuatku sebal karena ejekanmu yang tidak ada habis-habisnya, tapi kau tidak
pernah gagal membuatku tersenyum ketika kita mengobrol lewat pesan singkat, dan
kau selalu berhasil membuatku salah tingkah sehingga tidak tahu harus berbuat
apa ketika kita bertemu.
Satu hal, yang sampai detik ini masih kusimpan, yang
jujur, jarang aku pikirkan karena seringkali ini menyakitkan dan tak seharusnya
ada, tapi tidak pernah aku lupakan keberadaannya. Satu hal itu mungkin tidak
akan aku ucapkan secara gamblang. Tapi akan aku simpan sendiri, sampai saatnya
nanti kau benar-benar serius mengucapkannya. Meskipun itu belum tentu terjadi
dan bahkan mustahil.
Dari sini aku bisa belajar, tidak seharusnya dengan
mudah aku menanggapi candaanmu yang membuat pipiku memanas, tidak seharusnya
aku menaruh harapan lebih karena mungkin sesungguhnya kesetiaanmu masih pada
satu orang perempuan yang membuatmu terkagum-kagum itu, dan tidak seharusnya
aku merasa tersakiti ketika melihatmu berbicara dengan yang lain terutama
dengan teman baikku sendiri. Karena disini aku bukan siapa-siapamu. Hubungan
diantara kita hanya sebatas teman SMA, tidak lebih. Aku tidak punya hak apapun
atas dirimu, tak berhap sedikitpun mengatur hidupmu, dan aku tak berhak sakit
hati jika nantinya kau mengungkapkan kemungkinan terburuk tentang ‘kita’.
Tapi tenang saja, aku masih bisa mengendalikan diriku.
Aku masih punya kewajiban lain, masih punya banyak waktu untuk menemukan orang
lain yang lebih tepat. Aku juga tahu, aku sadar diri, siapa aku dan siapa
dirimu.
Sebagian kecil diriku ingin kau membaca ini, tapi
sebagian lagi aku ingin kau tidak pernah tahu bahwa aku pernah menulis hal
bodoh seperti ini di blog. Aku tidak mau kau tahu yang sebenarnya. Aku tidak
mau tulisanku ini justru merusak status kita sebagai ‘teman’ dan membuat kita
menjadi lebih canggung ketika bertemu. Biarkan saja semua apa adanya. Tapi, jika
pada akhirnya nanti kau membaca ini, aku harap, jangan semudah itu kau
mengungkapkan ‘sayang’ dan ‘rindu’ pada perempuan lain jika itu hanya kau buat
untuk bahan candaan. Ini juga untuk kebaikanmu. Kau tidak mau kan di cap
sebagai laki-laki yang yang suka merayu? Aku juga tidak mau kau seperti itu.
Jadikan kata-kata itu sebagai kata-kata keramat yang hanya kau ucapkan pada
satu orang saja. Yang kau yakin bahwa dia benar-benar untukmu dan bisa menjadi
yang tepat bagimu. J