Rabu, 13 Maret 2013
Hari itu aku datang
lebih pagi dari biasanya. Suasana sekolah masih lengang, mungkin masih terbawa
suasana libur sehari kemarin. Saat aku membuka pintu kelas yang setengah
terbuka, di dalam sudah ada 2 temanku, sebut saja S(cewek) dan J(cowok).
Sebenarnya aku tidak terlalu memperhatikan kondisi kelas. Tapi setelah aku
menaruh sepatuku di rak, aku mencium aroma yang kurang sedap. Kemudian S
berkata, di beberapa sudut kelas ada kotoran tikus yang berceceran. Aku melihat
tempat yang ditunjuk S dan benar saja. Tepat di samping mejaku. Lalu J menunjuk
ke arah plafon kelas. Ada sebuah lubang besar berukuran sekitar 40 cm. Sesuatu
telah mengobrak-abrik kelas kami. Sepertinya seekor tikus. Tikus yang sangat
besar tentunya. Karena tidak tau harus berbuat apa, kami bertiga hanya diam
sambil menduga sebesar apa tikus yang berkunjung ke kelas kami saat liburan
kemarin.
Tidak lama kemudian,
ketua kelas kami datang-sebut saja G-. J langsung saja menunjukkan kondisi
kelas kami. G pikir, tidak mungkin seekor tikus bisa melubangi plafon sebesar
itu. Mungkin kucing, pikirnya. Tapi, barang bukti -berupa kotoran- di lokasi
kejadian tidak menunjukkan bahwa itu milik seekor kucing. Dan kalaupun benar,
bagaimana bisa kucing itu tinggal di atas plafon? Sementara selama ini banyak
sekali kucing berkeliaran di lingkungan sekolah dan jarang sekali dijumpai ada
kucing yang memanjat di atas genteng. Tanpa pikir panjang, G yang notabene
ketua kelas yang baik dan benar segera membuang bongkahan plafon dan kotoran
yang jatuh dari atas genteng.
Beberapa saat
kemudian, G selesai menyapu dan kembali ke dalam kelas. Kalau di pikir-pikir,
bisa jadi makhluk itu belum keluar, karena jendela dan pintu kelas dalam
kondisi tertutup rapat saat orang pertama datang. Tapi dimana "dia"?
Dan sekali lagi, ketua kelas berasumsi bahwa itu ulah seekor kucing. Dengan
sebuah sapu ditangan kanannya, ia berjalan ke belakang kelas, diikuti olehku, S
dan J. Aku masih tidak setuju dengan asumsinya, karena teringat kembali barang
bukti yang ada. Dan tanpa di duga, ketua kelas mengacungkan ujung sapu ke sudut
belakang kelas, tepatnya diatas sebuah meja dekat jendela. Sekali lagi, ketua
kelas meyakinkan bahwa itu kucing. Dia berbulu abu-abu, hampir hitam. Masih
meringkuk dengan pulasnya dibalik korden berwarna peach kelas kami. Aku
langsung saja mendekat hingga jarakku dengan 'tersangka' tinggal 2 m. Dengan
seksama aku perhatikan bentuk tubuhnya. Rupanya ekornya panjang, cukup panjang
untuk seekor kucing. Dan setelah aku perhatikan baik-baik, bentuk mulutnya...
aku yakin. Itu bukan kucing. Itu musang!!! Kami semua terkejut tentu saja.
Bagaimana bisa dia masuk melalui plafon? Tanpa pikir panjang, sang ketua kelas
maju beberapa langkah dan mengacungkan lagi sapu ditangannya. Mencoba
meyakinkan apa dia masih hidup atau tidak. Mengingat tidak ada yang tau kapan
dia datang. Mungkin saja dia mati kelaparan karena belum makan selama sehari?
Tapi ketua kelas kami salah. Ia justru terbangun dan terkejut melihat kami.
Langsung saja ia melompat ke atas jendela, berlari kesana kemari di atas
'gantungan' korden hingga beberapa bagian korden kelas kami lepas. Melihat
musang itu menjadi liar, kami bergerak mundur teratur -lari lebih tepatnya-. J
yang awalnya seperti benar-benar berani menghadapi makhluk itu justru paling cepat
melompat menjauh. Aku berlari keluar kelas dan bersembunyi di balik
pintu, S berlari ke belakang meja guru sementara G masih di belakang
kelas dengan senjata ditangannya -sapu-. Musang itu terus berlari dijendela
dari belakang ke depan kelas kami, berputar-putar terus tanpa henti. Sesekali
ia terpeleset dan jatuh di atas meja. Hingga akhirnya, satu persatu penghuni
kelas kami yang lain datang sambil berkata "ada apa?". Entah sudah
berapa kali kami menjelaskan apa yang terjadi tiap kali ada murid yang datang.
Ada beberapa dari mereka yang malah menerobos masuk kelas karena penasaran.
Bukan hanya dari kelasku, tapi penghuni kelas lain pun ikut bergerombol melihat
kerumunan siswa depan kelasku.
Tidak ada yang
berani menangkap binatang liar itu, sehingga kami membiarkannya berlarian
terus. Bahkan, J masih sempat browsing di internet berapa harga musang itu, apa
makannya dan bagaimana cara menangkapnya. Tangannya terus menerus memegang
i-Phonenya dan menyorotkan kamera pada musang itu. Banyak diantara kami yang
menyarankan untuk membiarkan musang itu berkeliaran di kelas hingga guru kimia
kami -yang terkenal sangat rajin- datang. Sebenarnya aku setuju, tapi kasihan
juga melihat musang itu.
Akhirnya, bel masuk
pun berdering dan guru kimia kami datang dengan wajah bingung melihat kerumunan
di depan kelas. Sekali lagi, kami menjelaskan apa yang terjadi. Akhirnya,
beliau menyarankan ketua kelasku untuk memanggil petugas kebersihan sekolahku
untuk menangkapnya. Tapi, orang yang kami cari tidak ada. Dia kembali sambil
membawa sebuah papan, kontainer yang berlubang-lubang dan sesisir pisang.
Dengan ragu, G dan temanku yang lain, R berjalan ke belakang dan menangkap
musang yang mulai kelelahan itu dengan kontainer lalu mengurungnya. Berhasil.
Musang itu akhirnya terkurung di dalamnya dengan sesisir pisang. Kami berhasil
menangkapnya, dan berhasil membuang waktu pelajaran kimia kami. Walaupun
sebenarnya masih tersisa sekitar 20 menit, tapi setidaknya lumayan ^^.
TBC...