Tuesday 30 April 2013

Penghuni Baru Kelasku (part 02)



Pelajaran kedua setelah kimia adalah biologi. Atas izin guru kami, yang juga merupakan wali kelas kami sekaligus, kami diberikan waktu untuk membersihkan sisa kekacauan yang masih ada. Petugas piket hari Selasa dan Rabu begitu sibuk membersihkan kelas. Meski hanya menyapu dan mengepel, tapi kali ini memakan waktu lebih banyak. Lebih dari satu jam para petugas piket kelas kami bertugas. Sementara itu, ada beberapa dari temanku yang justru melakukan tindakan yang menurutku konyol tapi berkesan. Mereka mengambil beberapa lembar kertas, spidol dan stabilo.
“Nonton Musang GRATIS!! Diskon untuk pelanggan pertama!!”
“Foto dengan Musang ASLI! Dengan i-Phone langsung upload instagram!!”
Entah tulisan apa lagi yang mereka tulis dan tempel di pintu kelas kami. Setiap siswa yang lewat selalu menahan senyum. Mungkin bagi beberapa yang tampak heran, hal itu hanya sebuah lelucon. Sebuah kardus bekas yang ada dikelas kami pun disulap menjadi sebuah kotak amal.
“Sumabangan Sukarela. Untuk beli makan musang.”
Kardus itu digantung didepan kelas kami, yang hari itu sudah benar-benar menjadi perhatian warga sekolah.
Hari Rabu itu mungkin hari yang paling tidak bisa kami lupakan. Bagaimana tidak? Sepanjang hari itu kami tidak bisa berkonsentrasi dengan pelajaran. Berita bahwa kelas kami mendapat penghuni kelas baru langsung saja mewabah keseluruh sekolah.
Saat jam pelajaran sedang berlangsung, beberapa guru kami mengunjungi kelas. Guru matematika kami tiba dengan sekantung kecil kuaci di tangan.
“Ini musang doyan kuaci nggak? Di jual lumayan nih. Baunya nggak enak ya? Ini yang kotorannya buat kopi bukan?”
Sementara guru biologi kami mengajukan pertanyaan yang lebih masuk akal.
“Baru kali ini saya lihat musang. Kalian kasih makan apa? Dia aktifnya malam hari nih.”
Setiap jam istirahat, kelas kami di datangi siswa dari kelas lain. Meski tidak semua dari mereka benar-benar masuk dan melihat langsung, karena enggan mengeluarkan isi sakunya hanya untuk melihat seekor musang liar. Tapi hal itu jadi sesuatu yang berkesan bagi kelas kami.
Jam pelajaran terakhir hari itu adalah bahasa Inggris. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, guru kami selalu bertanya siapa yang tidak membawa buku paket. Dan hari itu sepertinya adalah hari sial bagi temanku, J dan T (cewek) . Mereka lupa membawa buku. Setelah berpikir sejenak, akhirnya guru kami memutuskan memberi hukuman, yakni menyumbangkan sejumlah uang untuk musang ‘kami’. Saat-saat dimana ada teman kami yang dihukum merupakan saat yang sebenarnya menyenangkan. Mengapa? Terkadang guru kami memberikan hukuman yang benar-benar menghibur.
Aku masih ingat, saat itu pernah 3 orang temanku diminta untuk senam didepan kelas. Pernah juga, mungkin baru sekitar 2 bulan lalu. Karena beberapa teman perempuanku bergumam sambil menyanyikan lagu saat pelajaran berlangsung, mereka dihukum dan diminta untuk bernyanyi di depan kelas. Pada akhirnya mereka menampilkan accapella yang juga mereka gunakan sebagai tugas akhir seni musik. Dan hukuman terakhir yang diberikan guruku di saat jam pelajaran bahasa Inggris terakhir sebelum ujian adalah foto alay. Yang kurang beruntung kali itu adalah Z(cewek) dan MH(cowok). Mereka di minta untuk berfoto dengan berbagai gaya dan menggunakan properti yang ada. Gitar, cardigan, helm, sapu, kain pel dan entah apalagi. Dalam foto itu mereka dilarang tersenyum. Setelah photo session itu selesai, salah seorang teman laki-laki kami dihukum karena berisik. Dia diminta berfoto sama seperti 2 teman kami sebelumnya. Sebut saja (dan lagi-lagi) J. Saat ia maju, teman kami yang berinisial H(cowok) mengajukan saran yang cukup gila sepertinya. Akhirnya guru kami juga menyuruhnya maju dan bahkan mempraktekkan sarannya itu. Ia berfoto di depan kelas dengan pose yang cukup ‘menggoda’. Berdiri sambil memeluk tiang bendera sambil menjulurkan sebagian lidahnya. Susah untuk dijelaskan sebenarnya.
Kembali ke musang.
Di jam terakhir bahasa inggris itu, guru PKn kami berkunjung untuk melihat si musang. Sepertinya, ibu kami itu cukup berpengalaman.
“Bau kelasnya jadi wangi ya, bau pandan. Kalian kasih makan apa? Biasanya dia makannya daging lho.”
Saat seluruh penghuni kelas kami berkata kelas kami berbau tidak sedap, ibu kami itu justru satu-satunya orang yang berkata bahwa kelas kami bau pandan. Ibu itu bercerita, saat beliau masih kecil, di desanya sering dijumpai musang.
Setelah seluruh pelajaran selesai, seperti biasanya kami tidak langsung pulang. Kami harus melakukan tugas piket kami. Tapi berbeda dengan hari itu.Bukannya piket, kami justru berunding, mau diapakan makhluk berbulu itu. Akhirnya, J memutuskan membawanya pulang kerumah. Kebetulan rumahnya cukup dekat dengan sekolah.
Sore itu, J pulang dengan sebuah kontainer berisi musang di tangannya. Kontainer yang cukup besar itu di beri alas berupa papan dan ditutup dengan sehelai sarung. Entah untuk apa fungsi sarung itu. Mungkin untuk menjaga sang musang agar tidak kehujanan. Maklum saja, sore itu sedang gerimis.
Esok paginya, aku membuka grup chatting line kelasku. Berdasarkan sumber yang terpercaya –J- ,kami mendapat kabar bahwa musang itu kabur.
Malam itu, sekitar pukul 22.00, J memberikan beberapa potong daging ayam untuk sang musang. Musang itu diletakkan di halaman depan rumahnya, dalam tempat yang sama dan dengan sehelai sarung yang menutupinya. Diatas kontainer itu, ada 2 buah batu bata yang menjaga agar kontainer itu tidak terbuka sehingga ia kabur.
Beberapa jam setelah itu, sekitar pukul 03.00, ayah J memintanya mengecek makhluk itu. Sekilas, J melihat kandang itu masih ada di tempat yang sama. Tapi tunggu! Kandang itu sedikit terbuka. Batu bata yang pada awalnya ada diatas, terjatuh. Begitu juga dengan sarung yang menyelimuti kandang itu. Mungkin karena dalam keadaan mengantuk, awalnya J pikir musang itu kedinginan, sehingga mengambil sarung itu dan menggunakannya sebagai selimut. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tentu itu tidak mungkin.
Dengan segera J mengambil sebuah sapu. Ia menyingkap kandang itu dan.. nihil. Gundukan sarung yang awalnya ia pikir berisi musang ternyata kosong. Musang itu melarikan diri. Hewan itu memang nocturnal, jadi tidak heran jika dia menjadi aktif.
Sebenarnya kami merasa kecewa karena kehilangan penghuni baru kelas kami itu. Awalnya kami sudah berencana muluk-muluk dengan menjualnya dan memasukkannya untuk uang kas. Padahal mungkin jika musang itu hanya spesies biasa, hanya laku sekitar 200.000. Yah tapi mau bagaimana lagi?
Keesokan harinya hingga beberapa hari setelah kejadian itu, masih ada beberapa guru yang bertanya, “Kemana musangnya?”. Mereka kurang beruntung rupanya.
Dan begitulah akhir cerita kita. Aku, teman kelasku dan si musang. Setidaknya meskipun kita gagal memeliharanya maupun menjualnya, musang itu bisa jadi kenangan yang tidak akan terlupakan di tahun terakhir sekolah kami. 
Penghuni baru kelasku.

No comments:

Post a Comment