Pelajaran kedua setelah kimia adalah
biologi. Atas izin guru kami, yang juga merupakan wali kelas kami sekaligus,
kami diberikan waktu untuk membersihkan sisa kekacauan yang masih ada. Petugas
piket hari Selasa dan Rabu begitu sibuk membersihkan kelas. Meski hanya menyapu
dan mengepel, tapi kali ini memakan waktu lebih banyak. Lebih dari satu jam
para petugas piket kelas kami bertugas. Sementara itu, ada beberapa dari
temanku yang justru melakukan tindakan yang menurutku konyol tapi berkesan. Mereka
mengambil beberapa lembar kertas, spidol dan stabilo.
“Nonton Musang GRATIS!! Diskon untuk
pelanggan pertama!!”
“Foto dengan Musang ASLI! Dengan i-Phone
langsung upload instagram!!”
Entah tulisan apa lagi yang mereka tulis
dan tempel di pintu kelas kami. Setiap siswa yang lewat selalu menahan senyum. Mungkin
bagi beberapa yang tampak heran, hal itu hanya sebuah lelucon. Sebuah kardus
bekas yang ada dikelas kami pun disulap menjadi sebuah kotak amal.
“Sumabangan Sukarela. Untuk beli makan musang.”
Kardus itu digantung didepan kelas kami,
yang hari itu sudah benar-benar menjadi perhatian warga sekolah.
Hari Rabu itu mungkin hari yang paling
tidak bisa kami lupakan. Bagaimana tidak? Sepanjang hari itu kami tidak bisa
berkonsentrasi dengan pelajaran. Berita bahwa kelas kami mendapat penghuni
kelas baru langsung saja mewabah keseluruh sekolah.
Saat jam pelajaran sedang berlangsung, beberapa
guru kami mengunjungi kelas. Guru matematika kami tiba dengan sekantung kecil
kuaci di tangan.
“Ini musang doyan kuaci nggak? Di jual
lumayan nih. Baunya nggak enak ya? Ini yang kotorannya buat kopi bukan?”
Sementara guru biologi kami mengajukan pertanyaan
yang lebih masuk akal.
“Baru kali ini saya lihat musang. Kalian
kasih makan apa? Dia aktifnya malam hari nih.”
Setiap jam istirahat, kelas kami di datangi
siswa dari kelas lain. Meski tidak semua dari mereka benar-benar masuk dan melihat langsung, karena
enggan mengeluarkan isi sakunya hanya untuk melihat seekor musang liar. Tapi hal
itu jadi sesuatu yang berkesan bagi kelas kami.
Jam pelajaran terakhir hari itu adalah
bahasa Inggris. Seperti biasanya, sebelum pelajaran dimulai, guru kami selalu
bertanya siapa yang tidak membawa buku paket. Dan hari itu sepertinya adalah
hari sial bagi temanku, J dan T (cewek) . Mereka lupa membawa buku. Setelah berpikir
sejenak, akhirnya guru kami memutuskan memberi hukuman, yakni menyumbangkan
sejumlah uang untuk musang ‘kami’. Saat-saat dimana ada teman kami yang dihukum
merupakan saat yang sebenarnya menyenangkan. Mengapa? Terkadang guru kami
memberikan hukuman yang benar-benar menghibur.
Aku masih ingat, saat itu pernah 3 orang
temanku diminta untuk senam didepan kelas. Pernah juga, mungkin baru sekitar 2
bulan lalu. Karena beberapa teman perempuanku bergumam sambil menyanyikan lagu
saat pelajaran berlangsung, mereka dihukum dan diminta untuk bernyanyi di depan
kelas. Pada akhirnya mereka menampilkan accapella yang juga mereka gunakan
sebagai tugas akhir seni musik. Dan hukuman terakhir yang diberikan guruku di saat
jam pelajaran bahasa Inggris terakhir sebelum ujian adalah foto alay. Yang kurang
beruntung kali itu adalah Z(cewek) dan MH(cowok). Mereka di minta untuk berfoto
dengan berbagai gaya dan menggunakan properti yang ada. Gitar, cardigan, helm,
sapu, kain pel dan entah apalagi. Dalam foto itu mereka dilarang tersenyum. Setelah
photo session itu selesai, salah seorang teman laki-laki kami dihukum karena
berisik. Dia diminta berfoto sama seperti 2 teman kami sebelumnya. Sebut saja
(dan lagi-lagi) J. Saat ia maju, teman kami yang berinisial H(cowok) mengajukan
saran yang cukup gila sepertinya. Akhirnya guru kami juga menyuruhnya maju dan
bahkan mempraktekkan sarannya itu. Ia berfoto di depan kelas dengan pose yang cukup ‘menggoda’.
Berdiri sambil memeluk tiang bendera sambil menjulurkan sebagian lidahnya. Susah
untuk dijelaskan sebenarnya.
Kembali ke musang.
Di jam terakhir bahasa inggris itu, guru
PKn kami berkunjung untuk melihat si musang. Sepertinya, ibu kami itu cukup
berpengalaman.
“Bau kelasnya jadi wangi ya, bau pandan. Kalian
kasih makan apa? Biasanya dia makannya daging lho.”
Saat seluruh penghuni kelas kami berkata
kelas kami berbau tidak sedap, ibu kami itu justru satu-satunya orang yang
berkata bahwa kelas kami bau pandan. Ibu itu bercerita, saat beliau masih
kecil, di desanya sering dijumpai musang.
Setelah seluruh pelajaran selesai, seperti
biasanya kami tidak langsung pulang. Kami harus melakukan tugas piket kami. Tapi
berbeda dengan hari itu.Bukannya piket, kami justru berunding, mau diapakan makhluk
berbulu itu. Akhirnya, J memutuskan membawanya pulang kerumah. Kebetulan
rumahnya cukup dekat dengan sekolah.
Sore itu, J pulang dengan sebuah kontainer berisi
musang di tangannya. Kontainer yang cukup besar itu di beri alas berupa papan
dan ditutup dengan sehelai sarung. Entah untuk apa fungsi sarung itu. Mungkin
untuk menjaga sang musang agar tidak kehujanan. Maklum saja, sore itu sedang
gerimis.
Esok paginya, aku membuka grup chatting
line kelasku. Berdasarkan sumber yang terpercaya –J- ,kami mendapat kabar bahwa
musang itu kabur.
Malam itu, sekitar pukul 22.00, J
memberikan beberapa potong daging ayam untuk sang musang. Musang itu diletakkan di
halaman depan rumahnya, dalam tempat yang sama dan dengan sehelai sarung yang
menutupinya. Diatas kontainer itu, ada 2 buah batu bata yang menjaga agar kontainer
itu tidak terbuka sehingga ia kabur.
Beberapa jam setelah itu, sekitar pukul
03.00, ayah J memintanya mengecek makhluk itu. Sekilas, J melihat kandang itu
masih ada di tempat yang sama. Tapi tunggu! Kandang itu sedikit terbuka. Batu bata
yang pada awalnya ada diatas, terjatuh. Begitu juga dengan sarung yang
menyelimuti kandang itu. Mungkin karena dalam keadaan mengantuk, awalnya J pikir musang
itu kedinginan, sehingga mengambil sarung itu dan menggunakannya sebagai
selimut. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, tentu itu tidak mungkin.
Dengan segera J mengambil sebuah sapu. Ia menyingkap
kandang itu dan.. nihil. Gundukan sarung yang awalnya ia pikir berisi musang
ternyata kosong. Musang itu melarikan diri. Hewan itu memang nocturnal, jadi
tidak heran jika dia menjadi aktif.
Sebenarnya kami merasa kecewa karena
kehilangan penghuni baru kelas kami itu. Awalnya kami sudah berencana
muluk-muluk dengan menjualnya dan memasukkannya untuk uang kas. Padahal mungkin jika musang itu hanya spesies biasa, hanya laku sekitar 200.000. Yah tapi mau
bagaimana lagi?
Keesokan harinya hingga beberapa hari
setelah kejadian itu, masih ada beberapa guru yang bertanya, “Kemana musangnya?”. Mereka kurang beruntung rupanya.
Dan begitulah akhir cerita kita. Aku, teman
kelasku dan si musang. Setidaknya meskipun kita gagal memeliharanya maupun
menjualnya, musang itu bisa jadi kenangan yang tidak akan terlupakan di tahun
terakhir sekolah kami.
Penghuni baru kelasku. |
No comments:
Post a Comment